BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Falsafat atau filsafat adalah merupakan kata
yang berasal dari bahasa yunani yaitu philosophia sebagai gabungan dari philein
yang berarti ”cinta“ dan shoppos yang berarti “hikmah“. Mempelajari
filsafat, berarti juga mempelajari siapa yang telah mencetuskan berbagai
pemikirannya tentang hal ini. Dalam arti lain, kita juga mempelajari tentang
tokoh-tokoh yang ada kaitannya dalam bidang filsafat.
Salah satu yang telah menjadi tokoh
yang sangat berpengaruh dalam bidang ini adalah al-Kindi, yang terkenal dengan
sebutan “filofof arab”. Bagi al-Kindi sendiri, filasafat
adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang termulia dan tertinggi
martabatnya”. Selain filsafat, pemikiran-pemikiran al-Kindi juga
mengarah kepada metafisika, fisika, jiwa manusia dan daya-daya manusia. Oleh
karena itu, dalam makalah ini kami mencoba menguraikan lebih lanjut mengenai
pemikiran-pemikiran filsafat al-Kindi, guna utnutk memperluas wawasan kita
dalam mengetahui dan mengenali sang tokoh melalui pemikiran-pemikirannya.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka
rumusan masalahnya adalah :
1. Bagaimana
hidup dan karya-karya al-Kindi?
2. Bagaimana
pemikiran filsafa al-Kindi?
C. Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisannnya adalah:
1.
Untuk mengetahui hidup dan karya-karya al-Kindi.
2.
Untuk mengetahui pemikiran filsafat al-Kindi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HIDUP dan KARYANYA
Ia adalah
Abu Yusuf bin ishak dan terkenal dengan sebutan “filofof Arab”, keturunan Arab
asli dan silsilah nasabnya sampai kepada Ya’rub bin Qahthan, yaitu nenek
pertama suku Arabia Selatan. Ayahnya al-Kindi, pernah menjadi gubernur kufah
pada pemerintahan al-Mahdi dan Harun al-Rasyid, dan nenek-neneknya adalah raja
didaerah kindah dan sekitarnya (Arabia Selatan).
Al-Kindi
mengalami kemajuan pikiran Islam dan penerjemahan buku-buku asing kedalam
bahasa Arab, bahkan ia termasuk pelorornya. Bermacam-macam ilmu telah
dikajinya, terutama filsafat, dalam suasana yang penh pertentangan agama dana
mazhab, dan yang dibanjiri oleh paham golongan Mu’tazilah serta ajaran-ajaran
Syi’ah.[1]
Mengenai
pendidikannya diwaktu kecil dan juga guru-gurunya yang pernah mengajar ilmu pengetahuan
sampai kini tidak diketahui dengan jelas. Tapi ada riwayat yang menyebutkan
bhwa ia pernah tinggal di Basrah dan belajar (taaddub) di Baghdad. Namun
demikian, al-Kindi adalah seseorang yang cerdada dan pandai seta memiliki
pengetahuan yangb luas. Kecuali keturunan raja, sehingga ia dengan mudah
diterima bekerja di istana di Baghdad. Karena keberhasilannya dalam tugasnya
serta keleluasaaan pengetahuannya, ia telah memperoleh kedudukan yang semkain
menanjak dan sangat dihormati oleh khalifah Ma’mun dan al-Mu’tashim. Maka ia
pernah diangkat sebagai guru istana oleh khalifah al-Mu’tashim untuk mengajar
anaknya, Ahmad ibn al-Mu’tashim, yang kemudian menjadi pengganti ayahnya
sebagai khalifah di Baghdad. Dalam kitab al-Fihrist,
ibn Nadim telah menulis suatu daftar yang memuat nama-nama kitab ynag pernah
ditulis oleh al-Kindi. Kitab-kitab ini dikelompokkan oleh ibn Nadim dalam 17
bab, sesuai dengan disiplin ilmu yang dikenalnya, dan dengan jumlah kitab
sebanyak 241 buah. Namun, hanya beberapa saja yang telah diterbitkan, antara
lain oleh Dr. Muhd. A. hadi Abu Ridah dalam nukunya yang berjudul Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyyah yang
terdiri dari dua jilid (Kairo, 1950 dan 1953). Syeikh Abd. Razik menduga bahwa
al-Kindi meninggal sekitar tahun 252 H/864 M.[2]
Karya-karya
al-Kindi, dapat kita lihat sebagai berikut :
1. Fi
Al-Falsafah Al- Ula ( Tentang Filsafat Pertama). Dalam risalah ini menjelaskan
tentang kebenaran pertama yang merupakan illat (sebab pokok) bagi semua
kebenaran.
2.Kitab Kimiya’
Al-Itr (book orf the Chemistry of Perfume).
3.Kitab fi
isti’mal al-Adad Al-Hindi (On the Use of the Indian).
4.Risalah fi
al-Illab al-Failali I-Madd wa I-Fazr (Trease on the Efficient).
5.Al-Kindi’s
Treatise on Cryptanalysis, by M. Mrayati,Y. Meer Alam and M. H. At-Tayyan
(2003).
6.Al-Hasis ‘ala
Ta’alum Al-Falsafah (anjuran untuk belajar filsafat). Risalah ini tampaknya
terilhami dari rangkaian karangan kuno, seperti karya Aristoteles dan karya
Cicero.
7.Fi Al-Radd’ala
Al- Mananiah (penolakan penganut manichaeisme) dan Masa’il Al-Mithidin (tentang
pernyataan-pernyataan kaun Atheis) mencerminkan simpatinya yang mendalam kepada
Mu’tazilah.
8.Makalah Fi
Al-Aql (pembahasan tentang akal).
9.Al-Hillal
lil-Daf Al-Ahzan (kiat menghindari kesedihan).
10.
Risalah fi Al-Ibanah an Al-‘Illat al Fa’illat
al- Qaribahlil Kawn wa al—Fasad ( Tentang penjelasan Mengenai Sebab Dekat Yang
Aktif Terhadap Alam dan kerusakannya).
11.
Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah
(Kajian Filosofis tentang Rahasia-rahasia Spiritual).
12.
Kitab fi Ibarah al-Jawami al-Fikriyyah (
tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif).
13.
Risalah fi Ananahu Jawahir La Ajsam (Tentang
Substansi-substansi tanpa Badan). [3]
B.
PEMIKIRAN AL-KINDI
1. AGAMA dan
FILSAFAH
Masalah hubungan agama dengan falsafah merupakan suatu masalah yang
diperdebatka dalam zaman al-Kindi. Baginya, agama dan falsafah tidaklah harus
dipertengtangkan karena keduanya membawa kebenaran yang serupa. Ilmu falsafah
menurut al-kindi adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu yang dipelajari
orang menurut kadar kemampuannya.
Adapun ilmu-ilmu yang termasuk dalam bidang falsafah adalah, ilmu
ketuhanan (rububiyyah), ilmu kesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah), dan ilmu-ilmu lai yang
bermanfaat bagi manusia dan menghindarkannya dari kerugian dan kesengsaraan.
Bagian yang paling penting dan tinggi martabat adalah ilmu ketuhanan yang
disebut oleh al-Kindi sebgai “falsafah pertama” (al-falsafah al-‘ula). Sebabnya ialah karena “falsafah pertama” adalah
ilmu yang membahas kebenaran pertama (ilmu
‘l-haqqi’l-awwal) yang merupakan semua sebab bagi semua kebenaran . dari
itu, al-Kindi menegaskan bahwa mempelajari ilmu “falsafah pertama” ini akan
membuat seseorang filsof ssemakin lebuh sempurna, karena pengetahuan seseorang
tentang “sebab” jauh lebih mulia daripada pengetahuannya tentang “akibat” (ma’lul).
Demikianlah pendirian al-Kindi tentang arti dan maksud ilmu falsafah.
Oleh karena itu, antara agama dan falsafh tidak mungkin timbul pertentangan,
karena masing-masing keduanya mengadug dalam dirinya kebenaran yang meyakinkan.
Sekiranya memang ada perbedaan ilmu falsafah dengan agama, maka itu tidak
terletak pada isi kandungannya, tapi pada cara, sumber dan cirinya yang khas.
Ajaran agama yang dibawa para nabi dan rasul itu tidak berasal dari dirinya
sebagai hasil usahanya, tapi berasal dari Allah yang telah membuat jiwa mereka
suci bersih dari noda, sehingga mampu menerima wahyu darinya. Ringkasnya, ilmu
falsafah menurut al-Kindi wajib dipelajari. Oleh karen itu, ia telah
mempelajarinya dengan sungguh-sungguh sehingga telah mencapai tingkat filofof yang
diberi gelar sebagai ‘filosof’ arab pertama dalam dunia islam. [4]
2. METAFISIKA
Persoalan metafisika dibicarakan oleh al-Kindi dalam beberapa
risalahanya, antara lain risalah yang berjudul “Tentang Filsafat Pertama” dan
“Tentang Keesaan Tuhan dan Berakhirnya Benda-benda Alam”. Pembicaraan dalam
soal ini meliputi hakikat tuhan dan sifat-sifat tuhan.
§
Hakikat Tuhan
Tuhan adalah wujud yang hak (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian
menjadi ada. Ia sealu mustahil tiada ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada.
Oleh karenanya tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud
lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada wujud kecuali dengan-Nya.
§
Bukti-bukti wujud Tuhan
Untuk membuktikan wujud Tuhan, ia menggunakan tiga jalan yaitu, baharunya
alam, keragaman-keragaman dalam wujud
dan kerapian alam.
Untuk jalan pertama, al-Kindi menanyakan apakah mungkin sesuatu menjadi sebab
bagi wujud dirinya, ataukah tidak mungkin. Dijawabnya, bahwa hal itu tidaklah
mungkin. Jelasnya ialah bahwa alam ini baru da nada permualaan waktunya, karena
alam ini terbatas. Oleh karena itu, maka mesti ada yang menyebabkan alam ini
terjadi (ada yang menjadikan). Tidak mungkin ada benda yang ada dengan
sendirinya, dan dengan demikian, maka ia diciptakan oleh penciptanya dari
tiada.
Jalan kedua, al-Kindi mengatakan bahwa dalam alam ini, baik alam inderawi
maupun alam lain yang menyamainya, tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa keseragaman, atau sebaliknya melainkan karena
suatu sebab. “sebab” tersebut haruslah berada diluar alam dan lebih mulia,
lebih tinggi dan lebih dulu adanya, karena “sebab” harus ada sebelum ma’lul-Nya (efek, akibatnya).
Untuk jalan ketiga, al-Kindi mengatakan bahwa alam lahir tidak mungkin
rapid an teratur kecuali karena adanya Zat yang tidak Nampak. Zat yang tidak
nampat tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan
kerapian yang terdapat pada alam ini. Jalan ini terkenal dengan nama “illat
tujuan” yang teah ditentukan oleh Aristoteles sebelumnya.
§
Sifat-sifat Tuhan
Al-Kindi membuktikan keesaan tuhan dengan mengatakan bahwa “ia bukan
benda (huyula, maddah), bukan form (shurah), tidak mempunyai kuantitas,
tidak mempuanyai kualitas, tiadk berhubungan dengan yang lain (idlafah), misalnya sebagai ayah atau
anak, tidak bisa disifati dengan apa yang ada dalam pikiran, buka genus, bukan differentia (fasl), bukan
propium (khassah), bukan accident (‘aradl), tidak bertubuh, tidak bergerak.
Karenanya, maka Tuha adalah keesaan belaka, tidak ada lain kecuali keesaan itu
semua.
Kesimpulannya ialaha bahwa Tuhan adalah sebab pertama , dimana wujud-Nya
bukan karena sebab yang lain. Ia adalah Zat yang menciptakan, tetapi bukan
diciptakan menciptakan segala sesuatu dari tiada. Ia adalah Zat yang
menyempurnakan, tetapi bukan disempurnakan.
3. FILASAFAT
FISIKA
Soal fisika diuraikan oleh al-Kindi dalam beberapa risalahnya.
Risalah-risalah ini pun masih menunjukkan corak Aristoteles dan Platonisme,
dengan jalan memilih dan menggabungkan pikiran-pikiran kedua filosof tersebut.
Al-kindi mengatakan bahwa alam ini ada illat-Nya (sebab) yang jauh dan menjadikan sebagiannya sebagai
illat bagi yang lain. Karen itulah alam ini asalnya tidak ada, kemudian menjadi
ada, karena diciptakan oleh Tuhan, dan karenanya pula, ia tidak dapat
membenarkan qadimnya alam.
Ia juga mengatakan bahwa didalam alam ini terdapat bermacam-macam gerak,
antara lain gerak kejadian dan empat illat yang telah diperkatakan aristoteles
sebelumya, yaitu illat materi atau illat unsur , illat bentuk, illat
pencipta,dan illat tujuan. Ia akhirnya sampai kepada apa yang dinamakannya
“illat pencipta terjauh” bagi tiap-tiap kejadian dan kemusnahan, yaitu illat
pertama atau Tuhan, dan ia juga sampai kepada illat terdekat, yaitu semua
benda-benda langit yang bekerja untuk menjadikan atau memusnahkan dengan
perantaraan empat unsur dibawah ini.
Kebudayaan dan kemusnahan hanya terjadi pada alam yang berada dibawah
bulan, karena menurut al-Kindi dan orang-orang sebelumnya, kejadian dan
kemusnahan tersebut hanya bisa terjadi pada benda-benda yang mempunyai kualitas
dan mengandung perlawanan. Panas, dingin, basah, dan kering merupakan
permualaan kualitas. Empat unusur ini tidak terdapat pada benda-benda langit,
yaitu sejak dari bulan sampai kepada akhir benda langit, yang karenanya maka
pada alam terakhir ini tidak terdapat kejadian dan kemusnahan.
Disini kita bisa melihat bahwa al-Kindi berbeda samasekali dari
Aristoteles, sebab kalau Aristoteles tidak membenarkan bahwa kejadian itu
(kejadian dari tiada samasekali) adalah gerak, karena hal ini mengharuskan
adanya sesuatu sebagai tempat berlangsungnya gerak, maka kita dapati al-Kindi
mengatakan bahwa pencipta (ibda’,
kejadian dari tiada samasekali) bagi benda bergandengan dengan geraknya.
Apalagi al-Kindi mengatakan dengan jelas adanya permualaan bagi zaman, dengan
menyalahi Aristoteles.[5]
4. JIWA MANUSIA
Masalah jiwa dalam pemikiran al-Kindi tidak terlepas dari apa yang telah
digariskan sebelumnya oleh Aristoteles. Jiwa menurut al-Kindi adalah
“kesempurnaan yang pertama bagi jisim alami yang memiliki kehidupan secara
potensial”. Dan pada tempat lain, ia mengatakan jiwa adalah “kesempurnaan jisim
alami yang organis yang menerima kehidupan”. Artinya, jiwa merupakan
kesempurnaan esensial bagi jisim yang tanpanya, jisim tidak berfungsi sama
sekali. Jisim akan binasa jika telah ditinggalkan jiwa.
Adapaun hakikat jiwa, al-Kindi menegaskan bahwa jiwa itu “jauhar tunggal
(jauhar basith) berciri ilahi lagi
ruhani, tidak panjang, tidak dalam, dan tidak lebar”. Al-Kindi juga mengakui
keabadian jiwa, dan ini dikuatkan lagi oleh pernyataannya yang lain “Wahai
insan yang jahil! Tidakkah engkau tahu bahwa tempatmu di alam ini sebentar
saja, kemudian engkau akan pergi kea lam hakiki dimana engkau akan tinggal
kekal selama-lamanya.
Oleh karena jiwa itu jauhar ruhani, maka hubungan jasad bersifat
aksidental. Kendatipun jiwa bersatu dengan badan, yang dengannya ia dapat
melakukan kegiatannya, namun jiwa tetap terpisah dan berbeda dengan badan,
sehingga ia kekal setelah mengalami kematian.
5. DAYA-DAYA
MANUSIA
Daya-daya jiw abanyak, namun al-Kindi hanya menyebutkan beberapa diantaranya,
seperti:
a.
Daya Mengindera
Penginderaan
dan yang diinderawi adalah suatu kesatuan dalam jiwa dan “semua yang diinderawi
itu selalu mempunyai materi”. Dan bentuk-bentuk material yang parsial itu
sajalah yang terletak dibawah pengamatan indera.
b.Daya Membentuk (al-Mushawwirah)
Yang
dimaksud dengan daya membentuk ialah “suatu daya yang membuat atau mengadakan
bentuk-bentuk parsial dari sesuatu tanpa materi, yakni dengan menghilangkan
materinya dari indera kita”.
c.
Daya Menyimpan (al-Hafizah)
Daya ini menyimpan
atau memelihara bentuk-bentuk yang disampaikan oleh daya membentuk.
d.
Daya Marah (al-Ghadhabiyyah)
Daya ini
disebut sebgai daya yang mengalahkan (al-Quwwah
l-galabiyyah), yakni yang menggerakkan manusia sewaktu-waktu, sehingga ia
terdorong unutuk melakukan hal-hal yang benar. Daya yang membuat manusia maraha
bukan jiwa itu sendiri yang mencegah orang menuruti kehendaknya.
e.
Daya Keinginan (al-Syahwaniyyah)
Daya ini
mendorong manusia sewaktu-waktu untuk memenuhi keinginan dan hawa nafsu. Daya
ini juga bukan jiwa karena jiwa terkadang menghalanginya memperoleh
keinginannya. Adapun daya makan dan daya tumbuh, al-Kindi tidak menjelaskannya,
dan tampaknya pendapatnya dalam hal ini tidak berbeda dengan Aristoteles.
f.
Daya Memikir (al-‘Aqliyyah)
Daya ini
berfungsi untuk mengetahui bentuk-bentuk sesuatu yang terlepas dari materi,
yakni bentuk-bentuk yang abstrak. Artinya mengetahui jenis dan macamnya.
Al-Kindi membagi daya ini menjadi empat bagian :
-
Akal aktif (bagi al-Kindi
“akal pertama” atau Tuhan bagi Aristoteles)
-
Akal potensial
-
Akal yang beralih dari
potensial ke actual
-
Akal lahir
Jiwa
merupakan “akal potensial” sebelum ia memikirkan objek pemikiran (ma’qulat), dan setelah memiliki
objeknya, maka ia beralih menjadi “akal actual”. Akal dalam keadaan potensial
tidak bisa dengan sendirinya menjadi actual tanpa adanya sebab, dan sebab bagi
terjadinya proses itu adalah “akal aktif” atau akal pertama atau Tuhan.
Jiwa dalam tingkat “akal
actual” telah memiliki dan menguasai objek pemikirannya, sehingga ia dapat
menggunakannya kapan pun ia kehendaki. Dalam hal ini objek tersebut telah
merupakan malakah atau qunyah (habitus) bagi jiwa. Dalam tingkat terakhir, akal itu disebut “akal
lahir” jika ia telah menggunakan malakah tersebut
dalam kenyataan. Untuk ini, al-Kindi memberi contoh “menulis” yang terdapat
dalam jiwa sebagai bentuk pengetahuan menulis, lalu dipergunakan untuk menulis
oleh si penulis kapan saja ia kehendaki. Demikianlah pemikiran al-Kindi tentang
akal yang jelas menunjukkan bahwa sumbernya adalah Aristoteles.[6]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Al-Kindi
adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Ash- Shabbah bin ‘Imran bin Al Asy’ats bin
Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di kota Kuffah Irak tahun 185 H ( 801 M ). Ayahnya
bernama Ishaq Ash-Sabbah, adalah gubernur Kuffah pada masa pemerintahan
Al-Mahdi (775-785 M) dan Al-Rasyid (786-809 M) dari Bani ‘Abbas. Ayahnya
meninggal beberapa tahun setelah Al-Kindi lahir. Dengan demikian Al-Kindi
dibesarkan dalam keadaan yatim. Kakeknya bernama Asy’ats bin Qais dikenal
sebagai sahabat Nabi.
Al-Kindi
mengarahkan filsafat Muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dengan agama.
Filsafat berlandasakan akal pikiran, sedangakan agama berdasarkan wahyu. Logika
merupakan metode filsafat, sedangkan iman yang merupakan kepercayaan kepada
hakikat-hakikat sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an yang di wahyukan
Allah kepada Nabi-Nya merupakan jalan agama. Orang-orang agama tak memercayai
filsafat dan filosuf. Sebaliknya al-Kindi menjelaskan bahwa filsafat merupakan
pengetahuan tentang segala sesuatu dan ini mengandung teologi (Rububiyyah),
ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
B.
SARAN
Al-Kindi merupakan salah satu tokoh yang memiliki pemikiran-pemikiran
yang patutu kita pelajari lebih dalam. Maka dari itu, kami berharap pembaca
tidak pernah puas terhadap apa yang telah kami sajikan dalam makalah ini, dan
berusaha untuk mengkaji lebih dalam mengenai pemikiran-pemikiran al-Kindi. Kami
juga akan sangat menghargai kritik dan sarannya, unutk makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
§ Hanafi, Ahmad. Pengantar
Filsafat Islam. Cet. 4 ; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
§ Daudy, Ahmad. KULIAH
FILSAFAT ISLAM. CET. 3 ; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 19912.
[1]. Hanafi
Ahmad, Pengantar Filsafat Islam (Cet.
5; Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h.73.
[2]. Daudy
Ahmad, Kuliah Filsafat Islam (Cet. 3;
Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h.10.
[3]. Amirulloh Mahudin Putra, “filsafat al kindi”, academia edu,
diakses dari https://www.academia.edu/11344119/Filsafat_al_Kindi, pada tanggal 23 november 2017 pada pukul 07:15 PM.
[4]. Daudy
Ahmad, op. cit., h. 11-15.
[5]. Hanafi
Ahmad, op. cit., h. 75-78.
[6]. Daudy
Ahmad, op. cit., h. 20-24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar