Minggu, 17 Desember 2017

makalah filsafat al-kindi (SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Falsafat atau filsafat adalah merupakan kata yang berasal dari bahasa yunani yaitu philosophia sebagai gabungan dari philein yang berarti ”cinta“ dan shoppos yang berarti “hikmah“. Mempelajari filsafat, berarti juga mempelajari siapa yang telah mencetuskan berbagai pemikirannya tentang hal ini. Dalam arti lain, kita juga mempelajari tentang tokoh-tokoh yang ada kaitannya dalam bidang filsafat.
Salah satu yang telah menjadi tokoh yang sangat berpengaruh dalam bidang ini adalah al-Kindi, yang terkenal dengan sebutan “filofof arab”. Bagi al-Kindi sendiri, filasafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang termulia dan tertinggi martabatnya”. Selain filsafat, pemikiran-pemikiran al-Kindi juga mengarah kepada metafisika, fisika, jiwa manusia dan daya-daya manusia. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami mencoba menguraikan lebih lanjut mengenai pemikiran-pemikiran filsafat al-Kindi, guna utnutk memperluas wawasan kita dalam mengetahui dan mengenali sang tokoh melalui pemikiran-pemikirannya.

B.  Rumusan masalah
 Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah :
1.      Bagaimana hidup dan karya-karya al-Kindi?
2.      Bagaimana pemikiran filsafa al-Kindi?


C.  Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisannnya adalah:
1.      Untuk mengetahui hidup dan karya-karya al-Kindi.
2.      Untuk mengetahui pemikiran filsafat al-Kindi.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    HIDUP dan KARYANYA
Ia adalah Abu Yusuf bin ishak dan terkenal dengan sebutan “filofof Arab”, keturunan Arab asli dan silsilah nasabnya sampai kepada Ya’rub bin Qahthan, yaitu nenek pertama suku Arabia Selatan. Ayahnya al-Kindi, pernah menjadi gubernur kufah pada pemerintahan al-Mahdi dan Harun al-Rasyid, dan nenek-neneknya adalah raja didaerah kindah dan sekitarnya (Arabia Selatan).
Al-Kindi mengalami kemajuan pikiran Islam dan penerjemahan buku-buku asing kedalam bahasa Arab, bahkan ia termasuk pelorornya. Bermacam-macam ilmu telah dikajinya, terutama filsafat, dalam suasana yang penh pertentangan agama dana mazhab, dan yang dibanjiri oleh paham golongan Mu’tazilah serta ajaran-ajaran Syi’ah.[1]
Mengenai pendidikannya diwaktu kecil dan juga guru-gurunya yang pernah mengajar ilmu pengetahuan sampai kini tidak diketahui dengan jelas. Tapi ada riwayat yang menyebutkan bhwa ia pernah tinggal di Basrah dan belajar (taaddub) di Baghdad. Namun demikian, al-Kindi adalah seseorang yang cerdada dan pandai seta memiliki pengetahuan yangb luas. Kecuali keturunan raja, sehingga ia dengan mudah diterima bekerja di istana di Baghdad. Karena keberhasilannya dalam tugasnya serta keleluasaaan pengetahuannya, ia telah memperoleh kedudukan yang semkain menanjak dan sangat dihormati oleh khalifah Ma’mun dan al-Mu’tashim. Maka ia pernah diangkat sebagai guru istana oleh khalifah al-Mu’tashim untuk mengajar anaknya, Ahmad ibn al-Mu’tashim, yang kemudian menjadi pengganti ayahnya sebagai khalifah di Baghdad. Dalam kitab al-Fihrist, ibn Nadim telah menulis suatu daftar yang memuat nama-nama kitab ynag pernah ditulis oleh al-Kindi. Kitab-kitab ini dikelompokkan oleh ibn Nadim dalam 17 bab, sesuai dengan disiplin ilmu yang dikenalnya, dan dengan jumlah kitab sebanyak 241 buah. Namun, hanya beberapa saja yang telah diterbitkan, antara lain oleh Dr. Muhd. A. hadi Abu Ridah dalam nukunya yang berjudul Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyyah yang terdiri dari dua jilid (Kairo, 1950 dan 1953). Syeikh Abd. Razik menduga bahwa al-Kindi meninggal sekitar tahun 252 H/864 M.[2]
Karya-karya al-Kindi, dapat kita lihat sebagai berikut :
1. Fi Al-Falsafah Al- Ula ( Tentang Filsafat Pertama). Dalam risalah ini menjelaskan tentang kebenaran pertama yang merupakan illat (sebab pokok) bagi semua kebenaran.
2.Kitab Kimiya’ Al-Itr (book orf the Chemistry of Perfume).
3.Kitab fi isti’mal al-Adad Al-Hindi (On the Use of the Indian).
4.Risalah fi al-Illab al-Failali I-Madd wa I-Fazr (Trease on the Efficient).
5.Al-Kindi’s Treatise on Cryptanalysis, by M. Mrayati,Y. Meer Alam and M. H. At-Tayyan (2003).
6.Al-Hasis ‘ala Ta’alum Al-Falsafah (anjuran untuk belajar filsafat). Risalah ini tampaknya terilhami dari rangkaian karangan kuno, seperti karya Aristoteles dan karya Cicero.
7.Fi Al-Radd’ala Al- Mananiah (penolakan penganut manichaeisme) dan Masa’il Al-Mithidin (tentang pernyataan-pernyataan kaun Atheis) mencerminkan simpatinya yang mendalam kepada Mu’tazilah.
8.Makalah Fi Al-Aql (pembahasan tentang akal).
9.Al-Hillal lil-Daf Al-Ahzan (kiat menghindari kesedihan).
10.  Risalah fi Al-Ibanah an Al-‘Illat al Fa’illat al- Qaribahlil Kawn wa al—Fasad ( Tentang penjelasan Mengenai Sebab Dekat Yang Aktif Terhadap Alam dan kerusakannya).
11.  Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (Kajian Filosofis tentang Rahasia-rahasia Spiritual).
12.  Kitab fi Ibarah al-Jawami al-Fikriyyah ( tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif).
13.  Risalah fi Ananahu Jawahir La Ajsam (Tentang Substansi-substansi tanpa Badan). [3]

B.     PEMIKIRAN AL-KINDI
1.      AGAMA dan FILSAFAH
Masalah hubungan agama dengan falsafah merupakan suatu masalah yang diperdebatka dalam zaman al-Kindi. Baginya, agama dan falsafah tidaklah harus dipertengtangkan karena keduanya membawa kebenaran yang serupa. Ilmu falsafah menurut al-kindi adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu yang dipelajari orang menurut kadar kemampuannya.
Adapun ilmu-ilmu yang termasuk dalam bidang falsafah adalah, ilmu ketuhanan (rububiyyah), ilmu kesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah), dan ilmu-ilmu lai yang bermanfaat bagi manusia dan menghindarkannya dari kerugian dan kesengsaraan. Bagian yang paling penting dan tinggi martabat adalah ilmu ketuhanan yang disebut oleh al-Kindi sebgai “falsafah pertama” (al-falsafah al-‘ula). Sebabnya ialah karena “falsafah pertama” adalah ilmu yang membahas kebenaran pertama (ilmu ‘l-haqqi’l-awwal) yang merupakan semua sebab bagi semua kebenaran . dari itu, al-Kindi menegaskan bahwa mempelajari ilmu “falsafah pertama” ini akan membuat seseorang filsof ssemakin lebuh sempurna, karena pengetahuan seseorang tentang “sebab” jauh lebih mulia daripada pengetahuannya tentang “akibat” (ma’lul).
Demikianlah pendirian al-Kindi tentang arti dan maksud ilmu falsafah. Oleh karena itu, antara agama dan falsafh tidak mungkin timbul pertentangan, karena masing-masing keduanya mengadug dalam dirinya kebenaran yang meyakinkan.
Sekiranya memang ada perbedaan ilmu falsafah dengan agama, maka itu tidak terletak pada isi kandungannya, tapi pada cara, sumber dan cirinya yang khas. Ajaran agama yang dibawa para nabi dan rasul itu tidak berasal dari dirinya sebagai hasil usahanya, tapi berasal dari Allah yang telah membuat jiwa mereka suci bersih dari noda, sehingga mampu menerima wahyu darinya. Ringkasnya, ilmu falsafah menurut al-Kindi wajib dipelajari. Oleh karen itu, ia telah mempelajarinya dengan sungguh-sungguh sehingga telah mencapai tingkat filofof yang diberi gelar sebagai ‘filosof’ arab pertama dalam dunia islam. [4]

2.      METAFISIKA
Persoalan metafisika dibicarakan oleh al-Kindi dalam beberapa risalahanya, antara lain risalah yang berjudul “Tentang Filsafat Pertama” dan “Tentang Keesaan Tuhan dan Berakhirnya Benda-benda Alam”. Pembicaraan dalam soal ini meliputi hakikat tuhan dan sifat-sifat tuhan.
§  Hakikat Tuhan
Tuhan adalah wujud yang hak (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Ia sealu mustahil tiada ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karenanya tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada wujud kecuali dengan-Nya.
§  Bukti-bukti wujud Tuhan
Untuk membuktikan wujud Tuhan, ia menggunakan tiga jalan yaitu, baharunya alam, keragaman-keragaman dalam wujud  dan kerapian alam.
Untuk jalan pertama, al-Kindi menanyakan apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya, ataukah tidak mungkin. Dijawabnya, bahwa hal itu tidaklah mungkin. Jelasnya ialah bahwa alam ini baru da nada permualaan waktunya, karena alam ini terbatas. Oleh karena itu, maka mesti ada yang menyebabkan alam ini terjadi (ada yang menjadikan). Tidak mungkin ada benda yang ada dengan sendirinya, dan dengan demikian, maka ia diciptakan oleh penciptanya dari tiada.
Jalan kedua, al-Kindi mengatakan bahwa dalam alam ini, baik alam inderawi maupun alam lain yang menyamainya, tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa  keseragaman, atau sebaliknya melainkan karena suatu sebab. “sebab” tersebut haruslah berada diluar alam dan lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dulu adanya, karena “sebab” harus ada sebelum ma’lul-Nya (efek, akibatnya).
Untuk jalan ketiga, al-Kindi mengatakan bahwa alam lahir tidak mungkin rapid an teratur kecuali karena adanya Zat yang tidak Nampak. Zat yang tidak nampat tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat pada alam ini. Jalan ini terkenal dengan nama “illat tujuan” yang teah ditentukan oleh Aristoteles sebelumnya.
§  Sifat-sifat Tuhan
Al-Kindi membuktikan keesaan tuhan dengan mengatakan bahwa “ia bukan benda (huyula, maddah), bukan form (shurah), tidak mempunyai kuantitas, tidak mempuanyai kualitas, tiadk berhubungan dengan yang lain (idlafah), misalnya sebagai ayah atau anak, tidak bisa disifati dengan apa yang ada dalam pikiran, buka genus, bukan differentia (fasl), bukan propium (khassah), bukan accident (‘aradl), tidak bertubuh, tidak bergerak. Karenanya, maka Tuha adalah keesaan belaka, tidak ada lain kecuali keesaan itu semua.
Kesimpulannya ialaha bahwa Tuhan adalah sebab pertama , dimana wujud-Nya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah Zat yang menciptakan, tetapi bukan diciptakan menciptakan segala sesuatu dari tiada. Ia adalah Zat yang menyempurnakan, tetapi bukan disempurnakan.

3.      FILASAFAT FISIKA

Soal fisika diuraikan oleh al-Kindi dalam beberapa risalahnya. Risalah-risalah ini pun masih menunjukkan corak Aristoteles dan Platonisme, dengan jalan memilih dan menggabungkan pikiran-pikiran kedua filosof tersebut.
Al-kindi mengatakan bahwa alam ini ada illat-Nya (sebab) yang jauh dan menjadikan sebagiannya sebagai illat bagi yang lain. Karen itulah alam ini asalnya tidak ada, kemudian menjadi ada, karena diciptakan oleh Tuhan, dan karenanya pula, ia tidak dapat membenarkan qadimnya alam.
Ia juga mengatakan bahwa didalam alam ini terdapat bermacam-macam gerak, antara lain gerak kejadian dan empat illat yang telah diperkatakan aristoteles sebelumya, yaitu illat materi atau illat unsur , illat bentuk, illat pencipta,dan illat tujuan. Ia akhirnya sampai kepada apa yang dinamakannya “illat pencipta terjauh” bagi tiap-tiap kejadian dan kemusnahan, yaitu illat pertama atau Tuhan, dan ia juga sampai kepada illat terdekat, yaitu semua benda-benda langit yang bekerja untuk menjadikan atau memusnahkan dengan perantaraan empat unsur dibawah ini.
Kebudayaan dan kemusnahan hanya terjadi pada alam yang berada dibawah bulan, karena menurut al-Kindi dan orang-orang sebelumnya, kejadian dan kemusnahan tersebut hanya bisa terjadi pada benda-benda yang mempunyai kualitas dan mengandung perlawanan. Panas, dingin, basah, dan kering merupakan permualaan kualitas. Empat unusur ini tidak terdapat pada benda-benda langit, yaitu sejak dari bulan sampai kepada akhir benda langit, yang karenanya maka pada alam terakhir ini tidak terdapat kejadian dan kemusnahan.
Disini kita bisa melihat bahwa al-Kindi berbeda samasekali dari Aristoteles, sebab kalau Aristoteles tidak membenarkan bahwa kejadian itu (kejadian dari tiada samasekali) adalah gerak, karena hal ini mengharuskan adanya sesuatu sebagai tempat berlangsungnya gerak, maka kita dapati al-Kindi mengatakan bahwa pencipta (ibda’, kejadian dari tiada samasekali) bagi benda bergandengan dengan geraknya. Apalagi al-Kindi mengatakan dengan jelas adanya permualaan bagi zaman, dengan menyalahi Aristoteles.[5]

4.      JIWA MANUSIA
Masalah jiwa dalam pemikiran al-Kindi tidak terlepas dari apa yang telah digariskan sebelumnya oleh Aristoteles. Jiwa menurut al-Kindi adalah “kesempurnaan yang pertama bagi jisim alami yang memiliki kehidupan secara potensial”. Dan pada tempat lain, ia mengatakan jiwa adalah “kesempurnaan jisim alami yang organis yang menerima kehidupan”. Artinya, jiwa merupakan kesempurnaan esensial bagi jisim yang tanpanya, jisim tidak berfungsi sama sekali. Jisim akan binasa jika telah ditinggalkan jiwa.
Adapaun hakikat jiwa, al-Kindi menegaskan bahwa jiwa itu “jauhar tunggal (jauhar basith) berciri ilahi lagi ruhani, tidak panjang, tidak dalam, dan tidak lebar”. Al-Kindi juga mengakui keabadian jiwa, dan ini dikuatkan lagi oleh pernyataannya yang lain “Wahai insan yang jahil! Tidakkah engkau tahu bahwa tempatmu di alam ini sebentar saja, kemudian engkau akan pergi kea lam hakiki dimana engkau akan tinggal kekal selama-lamanya.
Oleh karena jiwa itu jauhar ruhani, maka hubungan jasad bersifat aksidental. Kendatipun jiwa bersatu dengan badan, yang dengannya ia dapat melakukan kegiatannya, namun jiwa tetap terpisah dan berbeda dengan badan, sehingga ia kekal setelah mengalami kematian.


5.      DAYA-DAYA MANUSIA
Daya-daya jiw abanyak, namun al-Kindi hanya menyebutkan beberapa diantaranya, seperti:
a. Daya Mengindera
Penginderaan dan yang diinderawi adalah suatu kesatuan dalam jiwa dan “semua yang diinderawi itu selalu mempunyai materi”. Dan bentuk-bentuk material yang parsial itu sajalah yang terletak dibawah pengamatan indera.
b.Daya Membentuk (al-Mushawwirah)
Yang dimaksud dengan daya membentuk ialah “suatu daya yang membuat atau mengadakan bentuk-bentuk parsial dari sesuatu tanpa materi, yakni dengan menghilangkan materinya dari indera kita”.
c. Daya Menyimpan (al-Hafizah)
Daya ini menyimpan atau memelihara bentuk-bentuk yang disampaikan oleh daya membentuk.
d.                  Daya Marah (al-Ghadhabiyyah)
Daya ini disebut sebgai daya yang mengalahkan (al-Quwwah l-galabiyyah), yakni yang menggerakkan manusia sewaktu-waktu, sehingga ia terdorong unutuk melakukan hal-hal yang benar. Daya yang membuat manusia maraha bukan jiwa itu sendiri yang mencegah orang menuruti kehendaknya.
e. Daya Keinginan (al-Syahwaniyyah)
Daya ini mendorong manusia sewaktu-waktu untuk memenuhi keinginan dan hawa nafsu. Daya ini juga bukan jiwa karena jiwa terkadang menghalanginya memperoleh keinginannya. Adapun daya makan dan daya tumbuh, al-Kindi tidak menjelaskannya, dan tampaknya pendapatnya dalam hal ini tidak berbeda dengan Aristoteles.
f. Daya Memikir (al-‘Aqliyyah)
Daya ini berfungsi untuk mengetahui bentuk-bentuk sesuatu yang terlepas dari materi, yakni bentuk-bentuk yang abstrak. Artinya mengetahui jenis dan macamnya. Al-Kindi membagi daya ini menjadi empat bagian :
-    Akal aktif (bagi al-Kindi “akal pertama” atau Tuhan bagi Aristoteles)
-    Akal potensial
-    Akal yang beralih dari potensial ke actual
-    Akal lahir
Jiwa merupakan “akal potensial” sebelum ia memikirkan objek pemikiran (ma’qulat), dan setelah memiliki objeknya, maka ia beralih menjadi “akal actual”. Akal dalam keadaan potensial tidak bisa dengan sendirinya menjadi actual tanpa adanya sebab, dan sebab bagi terjadinya proses itu adalah “akal aktif” atau akal pertama atau Tuhan.
Jiwa dalam tingkat “akal actual” telah memiliki dan menguasai objek pemikirannya, sehingga ia dapat menggunakannya kapan pun ia kehendaki. Dalam hal ini objek tersebut telah merupakan malakah atau qunyah (habitus) bagi jiwa. Dalam tingkat terakhir, akal itu disebut “akal lahir” jika ia telah menggunakan malakah tersebut dalam kenyataan. Untuk ini, al-Kindi memberi contoh “menulis” yang terdapat dalam jiwa sebagai bentuk pengetahuan menulis, lalu dipergunakan untuk menulis oleh si penulis kapan saja ia kehendaki. Demikianlah pemikiran al-Kindi tentang akal yang jelas menunjukkan bahwa sumbernya adalah Aristoteles.[6]



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Ash- Shabbah bin ‘Imran bin Al Asy’ats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di kota Kuffah Irak tahun 185 H ( 801 M ). Ayahnya bernama Ishaq Ash-Sabbah, adalah gubernur Kuffah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (775-785 M) dan Al-Rasyid (786-809 M) dari Bani ‘Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah Al-Kindi lahir. Dengan demikian Al-Kindi dibesarkan dalam keadaan yatim. Kakeknya bernama Asy’ats bin Qais dikenal sebagai sahabat Nabi.
Al-Kindi mengarahkan filsafat Muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dengan agama. Filsafat berlandasakan akal pikiran, sedangakan agama berdasarkan wahyu. Logika merupakan metode filsafat, sedangkan iman yang merupakan kepercayaan kepada hakikat-hakikat sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an yang di wahyukan Allah kepada Nabi-Nya merupakan jalan agama. Orang-orang agama tak memercayai filsafat dan filosuf. Sebaliknya al-Kindi menjelaskan bahwa filsafat merupakan pengetahuan tentang segala sesuatu dan ini mengandung teologi (Rububiyyah), ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat. 
B.        SARAN
Al-Kindi merupakan salah satu tokoh yang memiliki pemikiran-pemikiran yang patutu kita pelajari lebih dalam. Maka dari itu, kami berharap pembaca tidak pernah puas terhadap apa yang telah kami sajikan dalam makalah ini, dan berusaha untuk mengkaji lebih dalam mengenai pemikiran-pemikiran al-Kindi. Kami juga akan sangat menghargai kritik dan sarannya, unutk makalah selanjutnya.





DAFTAR PUSTAKA

§ Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Cet. 4 ; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
§ Daudy, Ahmad. KULIAH FILSAFAT ISLAM. CET. 3 ; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 19912.



[1]. Hanafi Ahmad, Pengantar Filsafat Islam (Cet. 5; Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h.73.
[2]. Daudy Ahmad, Kuliah Filsafat Islam (Cet. 3; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h.10.
[3]. Amirulloh Mahudin Putra, “filsafat al kindi”, academia edu, diakses dari https://www.academia.edu/11344119/Filsafat_al_Kindi, pada tanggal 23 november 2017 pada pukul 07:15 PM.
[4]. Daudy Ahmad, op. cit., h. 11-15.
[5]. Hanafi Ahmad, op. cit., h. 75-78.
[6]. Daudy Ahmad, op. cit., h. 20-24.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi "Mata yang Tertutup"

“Mata yang Tertutup” Wahai sang pemilik mata, tidak bisakah engkau menggunakannya? apakah dunia ini hanya untuk mu bersenang-senang...