Minggu, 17 Desember 2017

MAKALAH FRITHJOF SHUON dan FILSAFAT PERENNIAL (FILSAFAT MODERN)




KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Kami Panjatkan ke Hadirat Allah SWT  karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini. Dalam makalah ini, penulis membahas mengenai seorang tokoh FRITHJOF SCHUON dan FILSAFAT PERENNIAL.
Pluralisme adalah sebuah faham tentang pluralitas. Sedang Pluralisme Agama adalah jalan kepercayaan yang berbeda menuju kesempurnaan yang sama. Tak ada satu agama pun yang berhak mengklaim sebagai satu-satunya agama yang benar. Klaim kebenaran atas agama merupakan sumber konflik antar umat beragama yang akan melahirkan sikap anti pluralitas dan anti toleransi.
Mengenai pluralisme agama, Salah satunya dapat kita tangani dengan mempelajari filsafat perennial atau sering juga disebut dengan filsafat abadi, karena terus menerus ada. Hal inilah yang memungkinkan kita untuk terus memepelajarinya sampai kapan pun. Berbicara mengenai filsafat perennial, sangat erat kaitannya dengan seorang ilmuan yang sangat gigih dalam mengungkapkan gagasannya tentang filsafat perennial ini, dia tidak lain dan tibukan Frithjof Schuon yang dianggap ‘Nabi’-nya para kaum pluralis. Olehnya itu selain untuk memenuhi tugas perkuliahan, penulis juga ingin mengembangkan pengetahuan mengenai seorang tokoh yang bernama Frithjof Schuon sekaligus mempelajari apakah yang dimaksud edengan filsafat perennial.
Semoga penyusunan makalah ini dapat membantu pembaca dan sedikit menambah pengetahuan kita semua. Sekalipun penulis menyadari dalam penyusuanan makalah ini, masih jauh dari  kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Oleh kerenya itu pula, penulis membutuhkan kritik dan saran dari pembaca

Penulis,





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………….……………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………
A.    LATAR BELAKANG………………………………………………………….
B.     RUMUSAN MASALAH……………………………………………………….
C.     TUJUAN PENULISAN…………………………………………………..…….
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………….……
A.    BIOGRAFI FRITHJOF SCHUON………………………………………………
B.     PEMIKIRAN FRITHJOF SCHUON mengenai FILSAFAT PERENNIAL…….
C.     PENGERTIAN FILSAFAT PEERENNIAL……………………………….……
BAB III PENUTUP………………………………………………………………….....
A.    KESIMPULAN…………………………………………….……………………
B.     SARAN…………………………………………………….…………………….
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..









BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Hampir setiap manusia saat ini telah memeluk agama menurut keyakinan atau kepercayaannya yang diajarkan secara turun temurun. Karena perbedaan keyakinan inilah terkadang menimbulkan konflik satu samalain baik dari segi suku, ras maupun golongan.
Sebenarnya hal seperti ini memang perlu untuk ditindak lanjuti. Salah satunya dengan melalui pendidikan. Dalam dunia pendidikan juga perlu menemukan seorang yang telah ahli dalam bidangnya, begitupun dengan memperbanyak buku-buku mengenai pengetahuan keagamaan dalam rangka membangun toleransi antar umat beragama atau pluralisme agama.
Salah satu diantara tokoh yang gigih dalam mengusung wacana tentang pluralisme agama adalah Frithjof Schuon yang meyakini bahwasanya setiap agama memiliki titik temu. Schuon adalah sosok penting yang mewakili filsafat perennial, dan kiprahnya telah diakui secara luas. Oleh karena itu dalam penulisan makalah kali ini, penulis akan membahas mengenai sosok Frithjof Shuon dan filsafat perennial.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami menyusun rumusan masalah :
1.   Bagaimanakah biografi dari Erithjof Schuon ?
2.   Bagaimanakah pemikiran Erithjof Schuon mengenai flsafat perennial?
3.   Apakah yang dimaksud dengan filsafat perennial?

C.    TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka kami memiliki tujuan penulisan, yaitu :
1.Mengidentifikasi sosok dari Erithjof Schuon
2.Mengetahui pemikiran Erithjof Schuon mengenai flsafat perennial
3.Mengetahui pengertian dari filsafat perennial.



BAB II

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI FRITHJOF SCHUON
Schuon lahir di Basel, Swiss pada 18 Juni 1907. Ayahnya keturunan Jerman. Sedangkan ibunya berasal dari ras Alsatia, salah satu suku di Perancis. Hingga usia 13 tahun, Schuon tinggal dan sekolah di Basel. Setelah Ayahnya meninggal, karena alasan ekonomi, sang ibu membawa Schuon dan saudaranya kembali ke rumah keluarganya di Mulhouse, Perancis. Selanjutnya, ia menjadi penduduk dan warga Negara Perancis.
Pindahnya Schuon ke Mulhouse, menyebabkannya sejak dini sudah menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Jerman dan Perancis. Pada usia 16 tahun, Schuon meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja sebagai desainer tekstil. Sebagai remaja, ia sangat suka menggambar dan melukis, meskipun tidak pernah mendapat pendidikan formal di bidang seni. Di Mulhouse pula, berbagai karya klasik dari Timur seperti Upanishad, Bhagavad-Gita dan Seribu Satu Malam sudah menarik perhatiannya. Selain itu, ia juga mendalami gagasan Plato dan Rene Gueno. Dua orang ilmuan yang ikut memberi dampak yang sangat mendalam dalam pemikiran Schuon nantinya.
Setelah menjalani wajib militer di Perancis selama satu tahun setengah, Schuon pergi ke Paris. Di sana, ia mulai belajar bahasa Arab di masjid. Kemudian pada tahun 1932, untuk pertama kalinya ia berkunjung ke Aljazair. Ia berkunjung ke Aljazair karena mendapat rekomendasi seorang Darwis (sufi) di Perancis. ”Jika kau ingin belajar sufisme, datanglah ke Aljazair,” begitu kira-kira saran dan rekomendasi sang Darwis. Kunjungan tersebut membawa kesan yang mendalam kepada dirinya. Ia mulai tertarik dengan sufisme. Ia menjadi murid seorang tokoh sufi di sana yaitu Syaikh Akhmad al ‘Alawi (1869-1934). Syaikh Akhmad adalah seorang wali qutub sufi abad ke-20. Tiga tahun kemudian, Schuon berkunjung lagi untuk kedua kalinya ke Afrika Utara, Aljazair dan Moroko. Kemudian pada tahun 1938, dalam perjalanannya ke India, ia singgah di Kairo. Di sana, Schuon akhirnya bertemu dengan Guenon, setelah sebelumnya berkorespondensi selama kurang lebih 20 tahun.
Pada tahun 1939, ketika baru tiba di India, perang Dunia Kedua meletus. Hal ini menyebabkannya harus kembali ke Perancis untuk ikut perang. Setelah beberapa bulan, tentara Jerman menangkap dan memenjarakannya. Ketika ia mengetahui rencana tentara Jerman untuk merekrutnya sebagai tentara Jerman, karena ras ibunya adalah Alsatia, ia mencari suaka politik di Swiss. Schuon mendapat status warga Negara Swiss dan menetap di sana selama 40 tahun.
Pada usia 42 tahun (1949), Schuon melangsungkan perkawinannya di Lausanne, Jerman. Istrinya seorang pelukis keturunan Swiss-Jerman. Sepasang suami istri tersebut mempunyai cita rasa sama untuk mendalami prinsip metafisika tradisional. Di Lausanne, Schuon banyak menulis berbagai karyanya.
Pada tahun 1959, Schuon dan istrinya berkunjung ke Amerika Barat atas undangan teman-temannya dari suku Indian Sioux dan Crow. Di sana, ia mendalami agama dan ritual (kepercayaan) suku Indian. Pengetahuan awal tentang suku Indian, berawal dari kekaguman neneknya tentang kearifan lokal (local wisdom) suku Indian. Sejak kecil, Schuon sering diceritakan kehidupan spiritual, kesederhanaan, dan kebijaksanan suku Indian. Cerita neneknya tersebut merasuk ke dalam bawah sadar Schuon, hingga pada akhirnya, ia membangun relasi dengan tokoh-tokoh Indian Sioux dan Crow. Dengan ditemani dua suku Indian tersebut, Schuon beserta istrinya mengunjungi berbagai suku Indian yang lain sekaligus tempat dan tradisi “suci” mereka. Bukan hanya itu, Schuon dan istrinya juga diangkat menjadi keluarga James Red Cloud dari suku Sioux pada tahun 1959. Beberapa tahun kemudian, Schuon dan istrinya diangkat menjadi keluarga suku Crow. Schuon melukis dan merefleksikan pengamatannya terhadap suku-suku Indian tersebut di dalam bukunya berjudul The Feather Sun: Plains Indians in Art and Philosophy (1990).
Pada tahun 1980, Schuon dan istrinya beremigrasi ke Amerika Serikat. Ia menetap di Indiana dan tetap aktif menulis sampai akhir hayatnya. Schuon meninggal di Bloomington pada tahun 1998. Dalam tulis menulis, Frithjof Schuon dikenal juga sebagai Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alawi al-Maryami.[1]

    

B.  PEMIKIRAN FRITHJOF SCHUON mengenai FILSAFAT PERENNIAL
          Frithjof Schuon dilahirkan di Basel, Swiss tahun 1907 dan mendapat
pendidikan di Perancis. Semenjak tahun 1936 ia tercatat sebagai penulis tetap di
jurnal berbahasa Perancis Etude Traditionelles dan jurnal Connaisance des
Religion, Comparative Religion.
        Dalam kata pegantar atas buku Schuon yang berjudul Islam and the
Perenial Philosophy (Islam Dan Filsafat Perenial) Sayyed Hussein Nasr
mengatakan bahwa pandangan Schuon adalah pandangan menyangkut metafisika
universal, menyangkut religio perenis atau relegio cordis yang telah dikemukakan
untuk manusia melalui berbagai tradisi samawi. Dengan menggabungkan
wawasan metafisika dengan pengetahuannya yang luas mengenai berbagai agama
dan aspek doktrinal, etika dan artistik mereka, Schuon telah menyelidiki intisari
tradisi-tradisi yang berlainan serta mengkritin peradaban modern dengan berbagai
penyimpangan denagn tuntunan kebenaran-kebenaran abadi dari tradisi itu.
        Menurut Frithjof Schoun, metafisika keagamaan atau filsafat perennial
tidak terpisah sama sekali dari tradisi, dan transmisi (mata rantai) tradisional termasuk dalam realisasi spiritual. Metafisika inilah yang menjadikan setiap
agama bersifat religio perenis, agama yang bersifat abadi. Filsafat Perenial
menaruh perhatian pada agama dalam realitasnya yang paling transinden atau
metafisika yang bersifat transinden histories, bukan hanya agama dalam
kenyataan faktual saja.[2]
       

C. PENGERTIAN FILSAFAT PEERENNIAL
        Secara etimologis, kata perenial berasal dari bahasa latin yaitu perennis,
yang artinya kekal selama-lamanya atau abadi. Sehingga filsafat perenial
dikatakan juga sebagai Filsafat Keabadian. Filsafat perennial adalah suatu
pengetahuan mistis universal yang telah ada dan akan selalu ada selamanya.
Filsafat perennial sebagaimana yang dikatakan oleh Leibnisz, merupakan:
·         Metafisika yang mengakui realitas Ilahi yang substansial bagi dunia bendabenda, hidup dan akal
·         Psikologi yang menemukan sesuatu yang sama dialam jiwa dan bahkan
identik dengan realitas Ilahi
·         Etika yang menempatkan tujuan akhir manusia pada pengetahuan tentang
“Dasar” yang imanen maupun transenden dari segala yang ada.
      Dasar-dasar filsafat perennial dapat ditemukan di antara adat dan tradisi
pada suku-suku primitif di setiap belahan dunia dan dalam bentuk yang
berkembang secara penuh. Ia memiliki tempat khusus dalam agama-agama besar.
Filsafat perennial oleh Nasr juga dikatakan sebagai tradisi, namun bukan
tradisi dalam arti umum, tradisi ini berisi pengertian tantang kebenaran yang
merupakan asal Ilahi. Ia juga mengimplikasikan suatu kebenaran batin yang
terdapat bentuk-bentuk kesucian yang berbeda dan unik, yang kebenaran itu
adalah satu.
      Filsafat perennial secara sederhana sebenarnya suatu pandangan yang
sudah menjadi pegangan hidup bagi mereka yang menyebut dirinya “pengabut
hikmah” seperti para gnosis dalam Kristen dan para sufi dalam Islam, cikal bakal
filsafat perennial sudah ada dalam ajaran para nabi terdahulu, yang ajarannya
meliputi dua aspek yaitu gnostik (ma’rifah atau irfan) dan filsafat atau teosofi
(falsafah-hikmah). Nasr menjelaskan ajaran ini dikembangkan oleh Nabi Idris
yang dalam tradisi filsafat Yunani diidentikan dengan Hermes sebagai “Father of
Philosophi” (Bapak Para Filosof, Abul Al-hukama). Dari nama Harmes ini
lahirlah istilah hermeniotika, yang intinya merupakan suatu kajian filosofis untuk
mengenal inti pesan Tuhan yang berada di balik ungkapan bahasa.
        Huxley menunjukkan cara-cara mempelajari filsafat perennial melalui tiga jalan. Pertama, mulai dari dasar yaitu dengan praktek dan moralitas. Cara terbaik pada tingkat dasar adalah melalui guru-guru yang memberikan ajaran-ajaran praktis misalnya seperti budha yang menyampaikan ajaran untuk kerja, berfikir
dan berspekulasi seperti para filsuf dan teolog. Kedua, dari puncak yaitu dengan pertimbangan-pertimbangan metafisis. Ketiga, dari tengah yakni hal-hal yang
penting, ketika fikiran dan fakta, tindakan dan fikiran bertemu dalam psikologis
manusia; cara terbaik adalah melalui para tokoh yang disebut kaum spiritualis
seperti orang saleh pada tradisi India, kaum sufi pada tradisi Islam, dan mistikus
pada tradisi Katolik.
        Dengan demikian, filsafat perennial memperlihatkan kaitan seluruh
eksistensi yang ada dalam semesta ini, dengan Realitas yang Terakhir itu.
Realisasi pengetahuan tersebut dalam diri manusia hanya dapat dicapai melalui
tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol dan sarana-sarana yang memang diyakini
sepenuhnya oleh kalangan perennial ini sebagai berasal dari Tuhan.17
Dasar-dasar teoritis pengetahuan tersebut ada dalam setiap tradisi
keagamaan yang otentik, yang dikenal dengan berbagai konsep- misalnya dalam
agama hindu disebut Sanathana Dharma, dalam Taoisme disubut Tao, dalam
agama Buddha dengan Dharma yang merupakan ajaran untuk sampai kepada The
Buddha-Nature, atau dalam Islam kuat dalam konsep al-Din, dalam filsafat abad
pertengahan disebut dengan sophia perennis, dan sebagainya. Dengan cara yang
dalam filsafat perenial disebut sebagai “transenden” itu, semua ritus-ritus,
doktrin-doktrin dan simbol-simbol keagamaan yang dipakai untuk mencapai
pengertian mengenai dasar keagamaan itu, mendapatkan penjelasan yang
menyeluruh melewati bentuknya yang formal, atau terpaku dalam satu tradisi
keagamaan, atau dalam Islam: terpaku dalam satu syari’ah tertentu.[3]



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
            Dari pembahasan diatas, maka penulis menyimpulkan :
-          Frithjof Schuon dilahirkan di Basel, Swiss tahun 1907 dan mendapat
pendidikan di Perancis. Menurut Frithjof Schoun, metafisika keagamaan atau filsafat perennial tidak terpisah sama sekali dari tradisi, dan transmisi (mata rantai) tradisional termasuk dalam realisasi spiritual.
-          Secara etimologis, kata perenial berasal dari bahasa latin yaitu perennis,
yang artinya kekal selama-lamanya atau abadi. Sehingga filsafat perenial
dikatakan juga sebagai Filsafat Keabadian. Filsafat perennial adalah suatu
pengetahuan mistis universal yang telah ada dan akan selalu ada selamanya.

B.     SARAN
Membaca adalah sebuah seumber dari segala pengetahuan, oelh karena itu, memperbanyak membaca dapat memperluas wawasan kita mengenai apa saja dan siapa saja. Termasuk dmengetahui riwayat hidup orang lain dengan membaca biografi tentangnya. Penulis sadar masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, olehnya itu saran dan masukannya akan sangat membantu.




DAFTAR PUSTAKA





[1]Rozisyairozi, “pemikiran frithjof schuon”, ttp://rozisyairozi.blogspot.co.id/2014/12/pemikiran-frithjof-schuon.html, pada tanggal 30 oktober 2017 pukul 09:03
[2] Diglib, “Perenialisme sebagai filsafat abadi”,
http://diglib.uinsby.ac.id/897/6/Bab%03.pdf, pada tanggal 09 oktober 017 pukul 09:30

[3]Ibid.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi "Mata yang Tertutup"

“Mata yang Tertutup” Wahai sang pemilik mata, tidak bisakah engkau menggunakannya? apakah dunia ini hanya untuk mu bersenang-senang...