KATA
PENGANTAR
Puji dan Syukur Kami Panjatkan ke
Hadirat Allah SWT karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini. Dalam
makalah ini, penulis membahas mengenai seorang tokoh FRITHJOF SCHUON dan
FILSAFAT PERENNIAL.
Pluralisme adalah sebuah faham tentang pluralitas.
Sedang Pluralisme Agama adalah jalan kepercayaan yang berbeda menuju kesempurnaan
yang sama. Tak ada satu agama pun yang berhak mengklaim sebagai satu-satunya
agama yang benar. Klaim kebenaran atas agama merupakan sumber konflik antar
umat beragama yang akan melahirkan sikap anti pluralitas dan anti toleransi.
Mengenai pluralisme agama, Salah satunya dapat kita
tangani dengan mempelajari filsafat perennial atau sering juga disebut dengan
filsafat abadi, karena terus menerus ada. Hal inilah yang memungkinkan kita
untuk terus memepelajarinya sampai kapan pun. Berbicara mengenai filsafat
perennial, sangat erat kaitannya dengan seorang ilmuan yang sangat gigih dalam
mengungkapkan gagasannya tentang filsafat perennial ini, dia tidak lain dan
tibukan Frithjof Schuon yang dianggap ‘Nabi’-nya para kaum pluralis. Olehnya
itu selain untuk memenuhi tugas perkuliahan, penulis juga ingin mengembangkan
pengetahuan mengenai seorang tokoh yang bernama Frithjof Schuon sekaligus
mempelajari apakah yang dimaksud edengan filsafat perennial.
Semoga
penyusunan makalah ini dapat membantu pembaca dan sedikit menambah pengetahuan
kita semua. Sekalipun penulis menyadari dalam penyusuanan makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan
maupun materinya. Oleh kerenya itu pula, penulis membutuhkan kritik dan saran
dari pembaca
Penulis,
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………….……………………
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………………
BAB
I PENDAHULUAN………………………………………………………………
A.
LATAR BELAKANG………………………………………………………….
B.
RUMUSAN MASALAH……………………………………………………….
C.
TUJUAN PENULISAN…………………………………………………..…….
BAB
II PEMBAHASAN………………………………………………………….……
A.
BIOGRAFI
FRITHJOF SCHUON………………………………………………
B.
PEMIKIRAN
FRITHJOF SCHUON mengenai FILSAFAT PERENNIAL…….
C.
PENGERTIAN
FILSAFAT PEERENNIAL……………………………….……
BAB III PENUTUP………………………………………………………………….....
A.
KESIMPULAN…………………………………………….……………………
B.
SARAN…………………………………………………….…………………….
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Hampir setiap manusia saat ini telah
memeluk agama menurut keyakinan atau kepercayaannya yang diajarkan secara turun
temurun. Karena perbedaan keyakinan inilah terkadang menimbulkan konflik satu
samalain baik dari segi suku, ras maupun golongan.
Sebenarnya hal seperti ini memang
perlu untuk ditindak lanjuti. Salah satunya dengan melalui pendidikan. Dalam
dunia pendidikan juga perlu menemukan seorang yang telah ahli dalam bidangnya,
begitupun dengan memperbanyak buku-buku mengenai pengetahuan keagamaan dalam
rangka membangun toleransi antar umat beragama atau pluralisme agama.
Salah satu diantara tokoh yang gigih
dalam mengusung wacana tentang pluralisme agama adalah Frithjof Schuon yang
meyakini bahwasanya setiap agama memiliki titik temu. Schuon adalah sosok
penting yang mewakili filsafat perennial, dan kiprahnya telah diakui secara
luas. Oleh karena itu dalam penulisan makalah kali ini, penulis akan membahas
mengenai sosok Frithjof Shuon dan filsafat perennial.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka kami menyusun rumusan masalah :
1.
Bagaimanakah
biografi dari Erithjof Schuon ?
2.
Bagaimanakah
pemikiran Erithjof Schuon mengenai flsafat perennial?
3.
Apakah yang
dimaksud dengan filsafat perennial?
C.
TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan
masalah diatas, maka kami memiliki tujuan penulisan, yaitu :
1.Mengidentifikasi sosok dari Erithjof Schuon
2.Mengetahui pemikiran Erithjof Schuon mengenai
flsafat perennial
3.Mengetahui pengertian dari filsafat perennial.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI FRITHJOF SCHUON
Schuon
lahir di Basel, Swiss pada 18 Juni 1907. Ayahnya keturunan Jerman. Sedangkan
ibunya berasal dari ras Alsatia, salah satu suku di Perancis. Hingga usia 13
tahun, Schuon tinggal dan sekolah di Basel. Setelah Ayahnya meninggal, karena
alasan ekonomi, sang ibu membawa Schuon dan saudaranya kembali ke rumah
keluarganya di Mulhouse, Perancis. Selanjutnya, ia menjadi penduduk dan warga
Negara Perancis.
Pindahnya
Schuon ke Mulhouse, menyebabkannya sejak dini sudah menguasai dua bahasa, yaitu
bahasa Jerman dan Perancis. Pada usia 16 tahun, Schuon meninggalkan bangku
sekolah untuk bekerja sebagai desainer tekstil. Sebagai remaja, ia sangat suka
menggambar dan melukis, meskipun tidak pernah mendapat pendidikan formal di
bidang seni. Di Mulhouse pula, berbagai karya klasik dari Timur seperti
Upanishad, Bhagavad-Gita dan Seribu Satu Malam sudah menarik perhatiannya.
Selain itu, ia juga mendalami gagasan Plato dan Rene Gueno. Dua orang ilmuan yang ikut memberi dampak yang
sangat mendalam dalam pemikiran Schuon nantinya.
Setelah
menjalani wajib militer di Perancis selama satu tahun setengah, Schuon pergi ke
Paris. Di sana, ia mulai belajar bahasa Arab di masjid. Kemudian pada tahun
1932, untuk pertama kalinya ia berkunjung ke Aljazair. Ia berkunjung ke
Aljazair karena mendapat rekomendasi seorang Darwis (sufi) di Perancis. ”Jika
kau ingin belajar sufisme, datanglah ke Aljazair,” begitu kira-kira saran dan
rekomendasi sang Darwis. Kunjungan tersebut membawa kesan yang mendalam kepada
dirinya. Ia mulai tertarik dengan sufisme. Ia menjadi murid seorang tokoh sufi
di sana yaitu Syaikh Akhmad al ‘Alawi (1869-1934). Syaikh Akhmad adalah seorang
wali qutub sufi abad ke-20. Tiga tahun kemudian, Schuon berkunjung lagi untuk
kedua kalinya ke Afrika Utara, Aljazair dan Moroko. Kemudian pada tahun 1938,
dalam perjalanannya ke India, ia singgah di Kairo. Di sana, Schuon akhirnya
bertemu dengan Guenon, setelah sebelumnya berkorespondensi selama kurang lebih
20 tahun.
Pada tahun
1939, ketika baru tiba di India, perang Dunia Kedua meletus. Hal ini
menyebabkannya harus kembali ke Perancis untuk ikut perang. Setelah beberapa
bulan, tentara Jerman menangkap dan memenjarakannya. Ketika ia mengetahui
rencana tentara Jerman untuk merekrutnya sebagai tentara Jerman, karena ras
ibunya adalah Alsatia, ia mencari suaka politik di Swiss. Schuon mendapat
status warga Negara Swiss dan menetap di sana selama 40 tahun.
Pada usia
42 tahun (1949), Schuon melangsungkan perkawinannya di Lausanne, Jerman.
Istrinya seorang pelukis keturunan Swiss-Jerman. Sepasang suami istri tersebut
mempunyai cita rasa sama untuk mendalami prinsip metafisika tradisional. Di
Lausanne, Schuon banyak menulis berbagai karyanya.
Pada tahun
1959, Schuon dan istrinya berkunjung ke Amerika Barat atas undangan
teman-temannya dari suku Indian Sioux dan Crow. Di sana, ia mendalami agama dan
ritual (kepercayaan) suku Indian. Pengetahuan awal tentang suku Indian, berawal
dari kekaguman neneknya tentang kearifan lokal (local wisdom) suku Indian.
Sejak kecil, Schuon sering diceritakan kehidupan spiritual, kesederhanaan, dan
kebijaksanan suku Indian. Cerita neneknya tersebut merasuk ke dalam bawah sadar
Schuon, hingga pada akhirnya, ia membangun relasi dengan tokoh-tokoh Indian
Sioux dan Crow. Dengan ditemani dua suku Indian tersebut, Schuon beserta
istrinya mengunjungi berbagai suku Indian yang lain sekaligus tempat dan
tradisi “suci” mereka. Bukan hanya itu, Schuon dan istrinya juga diangkat
menjadi keluarga James Red Cloud dari suku Sioux pada tahun 1959. Beberapa
tahun kemudian, Schuon dan istrinya diangkat menjadi keluarga suku Crow. Schuon
melukis dan merefleksikan pengamatannya terhadap suku-suku Indian tersebut di
dalam bukunya berjudul The Feather Sun: Plains Indians in Art and Philosophy
(1990).
Pada tahun
1980, Schuon dan istrinya beremigrasi ke Amerika Serikat. Ia menetap di Indiana
dan tetap aktif menulis sampai akhir hayatnya. Schuon meninggal di Bloomington
pada tahun 1998. Dalam tulis menulis, Frithjof Schuon dikenal juga sebagai Isa
Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alawi al-Maryami.[1]
B.
PEMIKIRAN FRITHJOF SCHUON mengenai FILSAFAT
PERENNIAL
Frithjof Schuon dilahirkan di Basel, Swiss tahun 1907 dan mendapat
pendidikan di Perancis. Semenjak tahun 1936 ia tercatat sebagai penulis tetap di
jurnal berbahasa Perancis Etude Traditionelles dan jurnal Connaisance des
Religion, Comparative Religion.
pendidikan di Perancis. Semenjak tahun 1936 ia tercatat sebagai penulis tetap di
jurnal berbahasa Perancis Etude Traditionelles dan jurnal Connaisance des
Religion, Comparative Religion.
Dalam kata pegantar atas buku Schuon
yang berjudul Islam and the
Perenial Philosophy (Islam Dan Filsafat Perenial) Sayyed Hussein Nasr
mengatakan bahwa pandangan Schuon adalah pandangan menyangkut metafisika
universal, menyangkut religio perenis atau relegio cordis yang telah dikemukakan
untuk manusia melalui berbagai tradisi samawi. Dengan menggabungkan
wawasan metafisika dengan pengetahuannya yang luas mengenai berbagai agama
dan aspek doktrinal, etika dan artistik mereka, Schuon telah menyelidiki intisari
tradisi-tradisi yang berlainan serta mengkritin peradaban modern dengan berbagai
penyimpangan denagn tuntunan kebenaran-kebenaran abadi dari tradisi itu.
Perenial Philosophy (Islam Dan Filsafat Perenial) Sayyed Hussein Nasr
mengatakan bahwa pandangan Schuon adalah pandangan menyangkut metafisika
universal, menyangkut religio perenis atau relegio cordis yang telah dikemukakan
untuk manusia melalui berbagai tradisi samawi. Dengan menggabungkan
wawasan metafisika dengan pengetahuannya yang luas mengenai berbagai agama
dan aspek doktrinal, etika dan artistik mereka, Schuon telah menyelidiki intisari
tradisi-tradisi yang berlainan serta mengkritin peradaban modern dengan berbagai
penyimpangan denagn tuntunan kebenaran-kebenaran abadi dari tradisi itu.
Menurut Frithjof
Schoun, metafisika keagamaan atau filsafat perennial
tidak terpisah sama sekali dari tradisi, dan transmisi (mata rantai) tradisional termasuk dalam realisasi spiritual. Metafisika inilah yang menjadikan setiap
agama bersifat religio perenis, agama yang bersifat abadi. Filsafat Perenial
menaruh perhatian pada agama dalam realitasnya yang paling transinden atau
metafisika yang bersifat transinden histories, bukan hanya agama dalam
kenyataan faktual saja.[2]
tidak terpisah sama sekali dari tradisi, dan transmisi (mata rantai) tradisional termasuk dalam realisasi spiritual. Metafisika inilah yang menjadikan setiap
agama bersifat religio perenis, agama yang bersifat abadi. Filsafat Perenial
menaruh perhatian pada agama dalam realitasnya yang paling transinden atau
metafisika yang bersifat transinden histories, bukan hanya agama dalam
kenyataan faktual saja.[2]
C.
PENGERTIAN FILSAFAT PEERENNIAL
Secara etimologis, kata perenial berasal
dari bahasa latin yaitu perennis,
yang artinya kekal selama-lamanya atau abadi. Sehingga filsafat perenial
dikatakan juga sebagai Filsafat Keabadian. Filsafat perennial adalah suatu
pengetahuan mistis universal yang telah ada dan akan selalu ada selamanya.
Filsafat perennial sebagaimana yang dikatakan oleh Leibnisz, merupakan:
yang artinya kekal selama-lamanya atau abadi. Sehingga filsafat perenial
dikatakan juga sebagai Filsafat Keabadian. Filsafat perennial adalah suatu
pengetahuan mistis universal yang telah ada dan akan selalu ada selamanya.
Filsafat perennial sebagaimana yang dikatakan oleh Leibnisz, merupakan:
·
Metafisika yang mengakui
realitas Ilahi yang substansial bagi dunia bendabenda, hidup dan akal
·
Psikologi yang menemukan
sesuatu yang sama dialam jiwa dan bahkan
identik dengan realitas Ilahi
identik dengan realitas Ilahi
·
Etika yang menempatkan tujuan
akhir manusia pada pengetahuan tentang
“Dasar” yang imanen maupun transenden dari segala yang ada.
“Dasar” yang imanen maupun transenden dari segala yang ada.
Dasar-dasar filsafat
perennial dapat ditemukan di antara adat dan tradisi
pada suku-suku primitif di setiap belahan dunia dan dalam bentuk yang
berkembang secara penuh. Ia memiliki tempat khusus dalam agama-agama besar.
Filsafat perennial oleh Nasr juga dikatakan sebagai tradisi, namun bukan
tradisi dalam arti umum, tradisi ini berisi pengertian tantang kebenaran yang
merupakan asal Ilahi. Ia juga mengimplikasikan suatu kebenaran batin yang
terdapat bentuk-bentuk kesucian yang berbeda dan unik, yang kebenaran itu
adalah satu.
pada suku-suku primitif di setiap belahan dunia dan dalam bentuk yang
berkembang secara penuh. Ia memiliki tempat khusus dalam agama-agama besar.
Filsafat perennial oleh Nasr juga dikatakan sebagai tradisi, namun bukan
tradisi dalam arti umum, tradisi ini berisi pengertian tantang kebenaran yang
merupakan asal Ilahi. Ia juga mengimplikasikan suatu kebenaran batin yang
terdapat bentuk-bentuk kesucian yang berbeda dan unik, yang kebenaran itu
adalah satu.
Filsafat perennial
secara sederhana sebenarnya suatu pandangan yang
sudah menjadi pegangan hidup bagi mereka yang menyebut dirinya “pengabut
hikmah” seperti para gnosis dalam Kristen dan para sufi dalam Islam, cikal bakal
filsafat perennial sudah ada dalam ajaran para nabi terdahulu, yang ajarannya
meliputi dua aspek yaitu gnostik (ma’rifah atau irfan) dan filsafat atau teosofi
(falsafah-hikmah). Nasr menjelaskan ajaran ini dikembangkan oleh Nabi Idris
yang dalam tradisi filsafat Yunani diidentikan dengan Hermes sebagai “Father of
Philosophi” (Bapak Para Filosof, Abul Al-hukama). Dari nama Harmes ini
lahirlah istilah hermeniotika, yang intinya merupakan suatu kajian filosofis untuk
mengenal inti pesan Tuhan yang berada di balik ungkapan bahasa.
sudah menjadi pegangan hidup bagi mereka yang menyebut dirinya “pengabut
hikmah” seperti para gnosis dalam Kristen dan para sufi dalam Islam, cikal bakal
filsafat perennial sudah ada dalam ajaran para nabi terdahulu, yang ajarannya
meliputi dua aspek yaitu gnostik (ma’rifah atau irfan) dan filsafat atau teosofi
(falsafah-hikmah). Nasr menjelaskan ajaran ini dikembangkan oleh Nabi Idris
yang dalam tradisi filsafat Yunani diidentikan dengan Hermes sebagai “Father of
Philosophi” (Bapak Para Filosof, Abul Al-hukama). Dari nama Harmes ini
lahirlah istilah hermeniotika, yang intinya merupakan suatu kajian filosofis untuk
mengenal inti pesan Tuhan yang berada di balik ungkapan bahasa.
Huxley menunjukkan cara-cara mempelajari
filsafat perennial melalui tiga jalan. Pertama,
mulai dari dasar yaitu dengan praktek dan moralitas. Cara terbaik pada tingkat
dasar adalah melalui guru-guru yang memberikan ajaran-ajaran praktis misalnya
seperti budha yang menyampaikan ajaran untuk kerja, berfikir
dan berspekulasi seperti para filsuf dan teolog. Kedua, dari puncak yaitu dengan pertimbangan-pertimbangan metafisis. Ketiga, dari tengah yakni hal-hal yang
penting, ketika fikiran dan fakta, tindakan dan fikiran bertemu dalam psikologis
manusia; cara terbaik adalah melalui para tokoh yang disebut kaum spiritualis
seperti orang saleh pada tradisi India, kaum sufi pada tradisi Islam, dan mistikus
pada tradisi Katolik.
dan berspekulasi seperti para filsuf dan teolog. Kedua, dari puncak yaitu dengan pertimbangan-pertimbangan metafisis. Ketiga, dari tengah yakni hal-hal yang
penting, ketika fikiran dan fakta, tindakan dan fikiran bertemu dalam psikologis
manusia; cara terbaik adalah melalui para tokoh yang disebut kaum spiritualis
seperti orang saleh pada tradisi India, kaum sufi pada tradisi Islam, dan mistikus
pada tradisi Katolik.
Dengan demikian, filsafat perennial memperlihatkan kaitan
seluruh
eksistensi yang ada dalam semesta ini, dengan Realitas yang Terakhir itu.
Realisasi pengetahuan tersebut dalam diri manusia hanya dapat dicapai melalui
tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol dan sarana-sarana yang memang diyakini
sepenuhnya oleh kalangan perennial ini sebagai berasal dari Tuhan.17
Dasar-dasar teoritis pengetahuan tersebut ada dalam setiap tradisi
keagamaan yang otentik, yang dikenal dengan berbagai konsep- misalnya dalam
agama hindu disebut Sanathana Dharma, dalam Taoisme disubut Tao, dalam
agama Buddha dengan Dharma yang merupakan ajaran untuk sampai kepada The
Buddha-Nature, atau dalam Islam kuat dalam konsep al-Din, dalam filsafat abad
pertengahan disebut dengan sophia perennis, dan sebagainya. Dengan cara yang
dalam filsafat perenial disebut sebagai “transenden” itu, semua ritus-ritus,
doktrin-doktrin dan simbol-simbol keagamaan yang dipakai untuk mencapai
pengertian mengenai dasar keagamaan itu, mendapatkan penjelasan yang
menyeluruh melewati bentuknya yang formal, atau terpaku dalam satu tradisi
keagamaan, atau dalam Islam: terpaku dalam satu syari’ah tertentu.[3]
eksistensi yang ada dalam semesta ini, dengan Realitas yang Terakhir itu.
Realisasi pengetahuan tersebut dalam diri manusia hanya dapat dicapai melalui
tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol dan sarana-sarana yang memang diyakini
sepenuhnya oleh kalangan perennial ini sebagai berasal dari Tuhan.17
Dasar-dasar teoritis pengetahuan tersebut ada dalam setiap tradisi
keagamaan yang otentik, yang dikenal dengan berbagai konsep- misalnya dalam
agama hindu disebut Sanathana Dharma, dalam Taoisme disubut Tao, dalam
agama Buddha dengan Dharma yang merupakan ajaran untuk sampai kepada The
Buddha-Nature, atau dalam Islam kuat dalam konsep al-Din, dalam filsafat abad
pertengahan disebut dengan sophia perennis, dan sebagainya. Dengan cara yang
dalam filsafat perenial disebut sebagai “transenden” itu, semua ritus-ritus,
doktrin-doktrin dan simbol-simbol keagamaan yang dipakai untuk mencapai
pengertian mengenai dasar keagamaan itu, mendapatkan penjelasan yang
menyeluruh melewati bentuknya yang formal, atau terpaku dalam satu tradisi
keagamaan, atau dalam Islam: terpaku dalam satu syari’ah tertentu.[3]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas, maka penulis menyimpulkan :
-
Frithjof
Schuon dilahirkan di Basel, Swiss tahun 1907 dan mendapat
pendidikan di Perancis. Menurut Frithjof Schoun, metafisika keagamaan atau filsafat perennial tidak terpisah sama sekali dari tradisi, dan transmisi (mata rantai) tradisional termasuk dalam realisasi spiritual.
pendidikan di Perancis. Menurut Frithjof Schoun, metafisika keagamaan atau filsafat perennial tidak terpisah sama sekali dari tradisi, dan transmisi (mata rantai) tradisional termasuk dalam realisasi spiritual.
-
Secara etimologis, kata
perenial berasal dari bahasa latin yaitu perennis,
yang artinya kekal selama-lamanya atau abadi. Sehingga filsafat perenial
dikatakan juga sebagai Filsafat Keabadian. Filsafat perennial adalah suatu
pengetahuan mistis universal yang telah ada dan akan selalu ada selamanya.
yang artinya kekal selama-lamanya atau abadi. Sehingga filsafat perenial
dikatakan juga sebagai Filsafat Keabadian. Filsafat perennial adalah suatu
pengetahuan mistis universal yang telah ada dan akan selalu ada selamanya.
B.
SARAN
Membaca adalah sebuah seumber dari
segala pengetahuan, oelh karena itu, memperbanyak membaca dapat memperluas
wawasan kita mengenai apa saja dan siapa saja. Termasuk dmengetahui riwayat
hidup orang lain dengan membaca biografi tentangnya. Penulis sadar masih banyak kesalahan dan kekurangan
dalam penulisan makalah ini, olehnya itu saran dan masukannya akan sangat
membantu.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Rozisyairozi, “pemikiran frithjof schuon”, ttp://rozisyairozi.blogspot.co.id/2014/12/pemikiran-frithjof-schuon.html, pada tanggal 30 oktober 2017
pukul 09:03
[2] Diglib, “Perenialisme sebagai filsafat abadi”,
http://diglib.uinsby.ac.id/897/6/Bab%03.pdf,
pada tanggal 09 oktober 017 pukul 09:30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar