Senin, 30 Oktober 2017

"Dalam Hujan" cerita hati



“Dalam Hujan”



Dia seperti hujan, ia datang tanpa terduga, dan ia pergi tanpa berucap, dan hanya meninggalkan bekas yang dengannya aku tidak mampu menghapusnya, dan hanya menunggu, dan membiarkannya kering.  Terkadang ia membuatku dingin, namun dengannya pula terkadang aku mencari kehangatan. Saat itu, ia pergi dalam hujan tanpa mengucapkan sepata katapun.  Ia berlari menjauh, dan aku tak lagi mampu melihatnya. Pula, tak pernah mampu untuk mengejarnya.  Ia pergi begitu saja, dan hanya meninggalkan bekas luka dan penyesalan untukku. Ia dingin, bahkan lebih dingin dari pada hujan yang sebelumnya pernah terjadi. Ia membekukan seluruh hati yang pernah ia sentuh. Ia menenggelamkan rasa yang dulu ada, hingga tak terlihat lagi. Namun ia menumpahkan luka yang amat begitu banyak nan menyakitkan. Kuberucap, ingin kugapai ia lagi. Tapi kini ia sangat berbeda, hingga aku hampir tak mampu untuk mengenalinya. Ia berbeda. Semua terasa sepi, tetesan air hujan seolah menembus kedalam sanubari. Memberi kesempatan agar hati itu pecah berkeping-keping. Menghunjam kesegala arah. Membuat kepingan itu hancur, meluluhlantarkannya hingga tak tersisa. Tak ada lagi yang terasa, kecuali diam dalam rasa sakit. Kini hujan itu jua menepis pandanganku. Membuat kedua mata ini tertutup. Merasakan kegelapan. Benar, aku tak lagi mampu melihatnya, tak lagi mampu merasakan keberadaannya. Kini ia telah menghilang. Ia menghilang dalam beribu-ribu tetesan hujan itu, dan meyisakan aku tanpa banyanganku. Tubuhku terdiam dalam dekapan luka, menyisihkan sendu yang bersemayam disetiap lapisan dalam kalbu. Setiap tetesan itu kian menusuk, memberi celah agar luka itu semakin perih. Membuatku ingin menjerit, namun mulut ini selalu bungkam. Bibir ini tak mampu lagi bicara. Kini, hanya tatapan mata sendu yang mampu menatap jauh kearah ia pergi. Berharap ia akan datang dan kembali. Namun sejauh mata itu memandangi, tak ada satupun yang terlihat. Saat ini memang hanya ada diriku yang terbujur kaku, beratapkan langit pilu, beralaskan tanah yang ditopang duka dan diselimuti oleh tetesan air yang begitu menikam. Saat ini aku benar-benar rapuh, detik-detik ini begitu menyakitkan. kurasa kau memang telah jauh.. kini, aku berusaha dengan keras, amat sangat keras untuk bertahan, walau sebenarnya aku tak mampu. Namun aku harus, dalam hujan, aku melepasmu.

Dian Nurpaisyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi "Mata yang Tertutup"

“Mata yang Tertutup” Wahai sang pemilik mata, tidak bisakah engkau menggunakannya? apakah dunia ini hanya untuk mu bersenang-senang...